Baru-baru ini Rumah
Perubahan kedatangan direksi dan manajemen PD Pasar Jaya. Dari pertemuan
itu saya mendengar, setiap hari Pasar Jaya menghasilkan ratusan ton
sampah dan setiap meter kubiknya dipungut bayaran yang terus meningkat.
Saat ini biaya angkutnya sudah Rp. 40.000 ,- per meter kubik, padahal
dua tahun lalu masih Rp. 5.000,-.
Rhenald Kasali |
Bisnis angkat sampah sendiri
telah tumbuh menjadi usaha yang amat besar. Namun Pasar Jaya punya
peluang besar untuk menghemat. Kalau di lokasi pembuangan disediakan
mesin pencacah, maka kubikasinya pun akan jauh berkurang. Apalagi bila
sampah itu disaring, dan dipisahkan antara organik dan plastik.
Bila
sampah anorganik tak mau diolah lagi, sampah itu bisa dipres menjadi
batangan-batangan sebesar batu bata yang bisa diperdagangkan kepada
industri-industri yang butuh bahan bakar dalam jumlah besar.
Gerakan-gerakan
untuk mengubah sampah plastik menjadi lahan bisnis belakangan muncul di
berbagai penjuru dunia. Di Washington, misalnya, pada tahun 2009
didirikan Envion, dengan nilai investasi 5 juta dolar. Envion setiap
tahun mengonversi 6.000 ton sampah plastik menjadi sejuta barel cairan
setara minyak bumi yang siap digunakan sebagai pencampur BBM.
Di
Kanada, JBI juga didirikan dengan plastic2oil (P2O) technology. Mereka
mengklaim usaha konversi sampah plastik itu sebagai usaha yang ultra clean, low sulphur fuel, sehingga tidak memerlukan pengolahan, pengilangan atau pembersihan plastik yang belum tersortir.
Di
India, seorang anak sekolah juga telah berhasil membuat alat sederhana
untuk mengubah sampah plastik menjadi BBM. Hanya saja keekonomiannya
belum didapatkan. Masih dibutuhkan skala usaha besar untuk menghasilkan
kegiatan ekonomi itu.
Di Filipina, kesadaran untuk bertempur
melawan wabah sampah plastik telah mendorong para insinyur menemukan
cara baru untuk mengatasinya. Jayme Navarro, penemu itu bahkan telah
mengkomersialkannya dan mendapat sambutan yang besar.
Dari
Jepang, sebuah video belum lama ini dikeluarkan oleh United Nations
University tentang temuan yang telah berhasil dilakukan
insinyur-insinyur Jepang. Hanya saja basisnya adalah plastik-palstik
bersih yang telah disortir.
Harga mesinnya yang berkapasitas
kecil hanya Rp 130 juta, sedangkan yang besar Rp. 1,7 miliar. Temuan
serupa juga telah dilakukan di Taiwan. Tentu saja semua ini membutuhkan support
dari pemerintah, apakah ingin terus mensubsidi negara-negara penghasil
minyak, atau membelinya dari kawasan-kawasan sampah plastik di dalam
negeri. Caranya sudah tidak sulit kok!
Tetapi kalau pengusaha
domestik harus menjual hasilnya ke pasar dengan harga subsidi, sudah
pasti akan berat! Mesin-mesin itu semua diadakan dengan pertimbangan
harga minyak di pasar internasional yang terus semakin mahal.
Limbah Perikanan
Di
lain pihak, sampah pasar adalah sumber potensi yang sangat bernilai
bagi perikanan rakyat. Seorang teman pernah menghasilkan belatung dari
sampah yang diolah secara sederhana untuk mengganti sumber protein bagi
pakan ikan-ikan konsumsi.
Harap maklum perikanan rakyat belakangan ini agak megap-megap, menyusul kenaikan harga terus menerus pakan ikan atau pellet yang diproduksi oleh produsen-produsen asing di sini.
Di
pasar tradisonal masih banyak sumber-sumber pakan yang bisa
dikumpulkan, mulai dari sayuran-sayuran yang terbuang, limbah daging
sapi atau ayam, ikan asin yang terbuang dan seterusnya. Semua itu adalah
resources penting bagi perikanan yang masih ada nilainya.
Sampah Perumahan
Yang
sedikit butuh kerja keras adalah bagaimana menggerakkan roda-roda
bisnis sampah perumahan. Ini sebenarnya biasa saja seperti orang yang
membuka restoran, yaitu harus ada orang yang rela membangun kepercayaan.
Ibarat
membangun restoran, maka setahun-dua tahun bisa saja anda belum
menangguk untung. Namun karena dikerjakan oleh orang-orang yang biasa
memperoleh gaji tetap, bisnis ini seringkali ditinggalkan justru sebelum
menjadi “bisnis” yang profitable.
Masalahnya, di daerah
perumahan tak semua orang mau membayar agar sampahnya diolah. Belum lagi
resistensi dari pihak tertentu yang mengetahui sampahnya diolah di
dekat rumah mereka sendiri.
Jadi semua itu butuh upaya ekstra. Butuh proses untuk membangun platform network, membangun cashflow
dan yang terpenting memanjangkan asa. Nanti kalau sudah berjalan,
bisnis yang dimodali Rp 100 juta-Rp 200 juta rupiah ini pasti akan
menjadi perhatian publik, dan semua yang dikumpulkan akan mendatangkan
uang.
Sumber penghasilannya mulai dari kompos, energi biomassa, plastic recycle,
pakan perikanan, dan seterusnya, di samping upah pungut sampah dari
perumahan. Gagasan-gagasan baru pun akan bermunculan, dan
komunitas-komunitas yang lebih luas akan berdatangan kepada anda meminta
agar anda menangani sampah di komunitas mereka.
Di penghujung
tahun 2013 ini hendaknya kita menyadari, bahwa pada tahun 2008 bangsa
ini telah mengudang-undangkan tentang Pegolahan Sampah (UU No 18/2008).
Setelah itu, pada tahun 2010, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Perpu No
33/2010 tentang Pedoman Pengolahan Sampah.
Keduanya, mengatur
tentang bagaimana “Serangan Sampah” harus diatasi dengan cara-cara baru
di seluruh pelosok tanah air. Sayangnya, 5 tahun setelah UU itu
diberlakukan, hampir semua pemerintah daerah terlihat cuek saja. Padahal
di balik musibah ini ada peluang bisnis yang besar.
Dan kalau pemerintah kota/ kabupaten diam saja, Anda pun bisa bergerak cepat mengambil kesempatan sebelum kita semua frustasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar