Jumat, 24 Oktober 2014

Peluang Yang Ada di Balik Sampah


Baru-baru ini Rumah Perubahan kedatangan direksi dan manajemen PD Pasar Jaya. Dari pertemuan itu saya mendengar, setiap hari Pasar Jaya menghasilkan ratusan ton sampah dan setiap meter kubiknya dipungut bayaran yang terus meningkat. Saat ini biaya angkutnya sudah Rp. 40.000 ,- per meter kubik, padahal dua tahun lalu masih Rp. 5.000,-.
Rhenald Kasali
Bisnis angkat sampah sendiri telah tumbuh menjadi usaha yang amat besar. Namun Pasar Jaya punya peluang besar untuk menghemat. Kalau di lokasi pembuangan disediakan mesin pencacah, maka kubikasinya pun akan jauh berkurang. Apalagi bila sampah itu disaring, dan dipisahkan antara organik dan plastik.

Bila sampah anorganik tak mau diolah lagi, sampah itu bisa dipres menjadi batangan-batangan sebesar batu bata yang bisa diperdagangkan kepada industri-industri yang butuh bahan bakar dalam jumlah besar.

Gerakan-gerakan untuk mengubah sampah plastik menjadi lahan bisnis belakangan muncul di berbagai penjuru dunia. Di Washington, misalnya, pada tahun 2009 didirikan Envion, dengan nilai investasi 5 juta dolar. Envion setiap tahun mengonversi 6.000 ton sampah plastik menjadi sejuta barel cairan setara minyak bumi yang siap digunakan sebagai pencampur BBM.

Di Kanada, JBI juga didirikan dengan plastic2oil (P2O) technology. Mereka mengklaim usaha konversi sampah plastik itu sebagai usaha yang ultra clean, low sulphur fuel, sehingga tidak memerlukan pengolahan, pengilangan atau pembersihan plastik yang belum tersortir.

Di India, seorang anak sekolah juga telah berhasil membuat alat sederhana untuk mengubah sampah plastik menjadi BBM. Hanya saja keekonomiannya belum didapatkan. Masih dibutuhkan skala usaha besar untuk menghasilkan kegiatan ekonomi itu.

Di Filipina, kesadaran untuk bertempur melawan wabah sampah plastik telah mendorong para insinyur menemukan cara baru untuk mengatasinya. Jayme Navarro, penemu itu bahkan telah mengkomersialkannya dan mendapat sambutan yang besar.

Dari Jepang, sebuah video belum lama ini dikeluarkan oleh United Nations University tentang temuan yang telah berhasil dilakukan insinyur-insinyur Jepang. Hanya saja basisnya adalah plastik-palstik bersih yang telah disortir.

Harga mesinnya yang berkapasitas kecil hanya Rp 130 juta, sedangkan yang besar Rp. 1,7 miliar. Temuan serupa juga telah dilakukan di Taiwan. Tentu saja semua ini membutuhkan support dari pemerintah, apakah ingin terus mensubsidi negara-negara penghasil minyak, atau membelinya dari kawasan-kawasan sampah plastik di dalam negeri. Caranya sudah tidak sulit kok!

Tetapi kalau pengusaha domestik harus menjual hasilnya ke pasar dengan harga subsidi, sudah pasti akan berat! Mesin-mesin itu semua diadakan dengan pertimbangan harga minyak di pasar internasional yang terus semakin mahal.

Limbah Perikanan

Di lain pihak, sampah pasar adalah sumber potensi yang sangat bernilai bagi perikanan rakyat. Seorang teman pernah menghasilkan belatung dari sampah yang diolah secara sederhana untuk mengganti sumber protein bagi pakan ikan-ikan konsumsi.

Harap maklum perikanan rakyat belakangan ini agak megap-megap, menyusul kenaikan harga terus menerus pakan ikan atau pellet yang diproduksi oleh produsen-produsen asing di sini.

Di pasar tradisonal masih banyak sumber-sumber pakan yang bisa dikumpulkan, mulai dari sayuran-sayuran yang terbuang, limbah daging sapi atau ayam, ikan asin yang terbuang dan seterusnya. Semua itu adalah resources penting bagi perikanan yang masih ada nilainya.

Sampah Perumahan

Yang sedikit butuh kerja keras adalah bagaimana menggerakkan roda-roda bisnis sampah perumahan. Ini sebenarnya biasa saja seperti orang yang membuka restoran, yaitu harus ada orang yang rela membangun kepercayaan.

Ibarat membangun restoran, maka setahun-dua tahun bisa saja anda belum menangguk untung. Namun karena dikerjakan oleh orang-orang yang biasa memperoleh gaji tetap, bisnis ini seringkali ditinggalkan justru sebelum menjadi “bisnis” yang profitable.

Masalahnya, di daerah perumahan tak semua orang mau membayar agar sampahnya diolah. Belum lagi resistensi dari pihak tertentu yang mengetahui sampahnya diolah di dekat rumah mereka sendiri.

Jadi semua itu butuh upaya ekstra. Butuh proses untuk membangun platform network, membangun cashflow dan yang terpenting memanjangkan asa. Nanti kalau sudah berjalan, bisnis yang dimodali Rp 100 juta-Rp 200 juta rupiah ini pasti akan menjadi perhatian publik, dan semua yang dikumpulkan akan mendatangkan uang.

Sumber penghasilannya mulai dari kompos, energi biomassa, plastic recycle, pakan perikanan, dan seterusnya, di samping upah pungut sampah dari perumahan. Gagasan-gagasan baru pun akan bermunculan, dan komunitas-komunitas yang lebih luas akan berdatangan kepada anda meminta agar anda menangani sampah di komunitas mereka.

Di penghujung tahun 2013 ini hendaknya kita menyadari, bahwa pada tahun 2008 bangsa ini telah mengudang-undangkan tentang Pegolahan Sampah (UU No 18/2008). Setelah itu, pada tahun 2010, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Perpu No 33/2010 tentang Pedoman Pengolahan Sampah.

Keduanya, mengatur tentang bagaimana “Serangan Sampah” harus diatasi dengan cara-cara baru di seluruh pelosok tanah air. Sayangnya, 5 tahun setelah UU itu diberlakukan, hampir semua pemerintah daerah terlihat cuek saja. Padahal di balik musibah ini ada peluang bisnis yang besar. 

Dan kalau pemerintah kota/ kabupaten diam saja, Anda pun bisa bergerak cepat mengambil kesempatan sebelum kita semua frustasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar